Silvianty "Chipi"
3 min readOct 16, 2021

--

Letting Go

Semakin bertambah usia, semakin kecil lingkup pergaulan. Begitulah yang aku rasakan. Bukan hanya karena jangkauan pergaulannya yang mungkin semakin kurang jauh, tapi seiring bertambah umur kecenderungannya adalah kita semakin ingin menjauh dari konflik pergaulan. Secara sadar atau tidak sadar, hubungan dengan orang-orang yang dirasa tidak cocok pun akan terseleksi. Hidup itu memang dinamis. Apa yang dulu kita anggap penting, bisa jadi menjadi hal yang tidak begitu penting atau bahkan merugikan di masa sekarang. Begitupun sebaliknya. Hal ini sangat berpengaruh pada lingkungan sekitar yang pastinya juga akan ikut berubah seiring dengan perubahan nilai hidup yang kita yakini.

“Quality over quantity” terasa sangat berpengaruh dalam kehidupan sosial. Dulu aku meyakini bahwa punya banyak teman itu keren, bisa berteman dengan siapa saja dari kalangan mana saja itu adalah standard kesuksesan dari kehidupan sosial. Dengan susah payah dan segala usaha dilakukan, bagaimana caranya bisa terlihat impresif di mata banyak orang. Kadang terlihat sangat dipaksakan, demi pengakuan banyak orang. Namun saat ini, kualitas pertemanan jauh lebih penting. Pertemanan yang tak sekedar bisa haha-hihi riang gembira, tapi juga melibatkan empati yang mendalam dalam segala situasi.

Dalam kehidupan sosial ada hubungan tak sehat yang sangat sulit untuk dilepaskan, sering kita sebut dengan “toxic relationship”, hubungan yang lebih banyak merugikan dan melelahkan mental bahkan bisa berpengaruh ke kesehatan fisik karena beban stress yang ditanggung dari hubungan pertemanan yang tidak sehat itu. Yang menyebalkan, kita kerap sulit untuk lepas dari hubungan toxic ini karena sudah terlalu familiar dengan kondisi toxic yang terlanjur telah lama dijalani, dan rasa takut akan resiko perubahan yang kemungkinan besar terjadi setelah kita lepaskan hubungan toxic itu.

Tidak semua orang memiliki ketegasan dalam mengambil sikap untuk mengatasi toxic relationship. Sebagian orang ada yang mampu untuk “cut loose” dan menghilangkan sesorang dengan gampang dalam pikiran dan hidupnya. Segampang menekan tombol unfollow dan block di social media, maka hilanglah orang tersebut di segala aspek hidupnya. Namun banyak pula orang yang tidak bisa serta merta menjauhi toxic relationship dengan segala pertimbangannya. Mungkin aku termasuk golongan yang terakhir. Apalagi aku cukup lama berada di komunitas yang homogen di daerah terpencil yang membuatku sulit mengabaikan keberadaan orang-orang yang toxic. Pilihannya ada dua, jika tidak bisa “moving on” maka kita harus menghadapinya dengan “acceptance”. Dua-duanya ini sebenarnya sama-sama berprinsip “letting go”. Jika memilih acceptance, artinya kita menerima keberadaan orang tersebut dengan segala kondisinya. Yang harus kita “let go” adalah ekspektasi kita akan orang tersebut dan menciptakan standard baru dalam berhubungan dengannya termasuk dari segi kepercayaan, kualitas, kuantitas dan jarak.

Apapun keputusan yang kita ambil, harus kita sadari bahwa lingkungan pertemanan selain sangat berpengaruh dalam kesehatan mental dan fisik, juga sangat berpengaruh akan keberhasilan kita dalam meraih cita-cita. Manusia tidak selamanya memiliki willpower dan motivasi yang tinggi dalam proses pencapaian mimpinya. Namun dengan lingkungan yang tepat dan mendukung, maka determinasinya akan tetap terus terjaga. Satu hal yang paling penting, masing-masing kita berhak memilih dan menentukan lingkungan seperti apa yang kita inginkan.

--

--